UNAS dalam BERBAGAI PERSPEKTIF

Jika kita mengamati pelaksanaan Ujian Nasional yang sekarang ini sudah berjalan dan masih terus akan berjalan, ada hal yang masih mengganjal dalam benak kita. UNAS memang membawa dapak positif di satu sisi, namun di sisi lain, praktik UAN yang diharapkan akan mampu menjadi alat evaluasi dalam mengetahui sejauh mana kompetensi anak didik kita dalam penguasaan materi malah menyisakan permasalah baru yang malah lebih rumit.
UNAS DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
1. Analisis Unas dari perspektif Psiko - Sosial
Awal mula penyelenggaraan Ujian Nasional yang dilakukan secara tergesa - gesa dikritisi oleh masyarakat karena :
Pertama, Ketidaksiapan Murid. Unas dilaksanakan secara tiba – tiba membuat siswa tidak siap. Hal inipun cukup merepotkan guru, mereka kesulitan dalam menjelaskan standar nilai kelulusan kepada siswa. Pasalnya, standar nilai kelulusan akan ditentukan olah Badan Standar Nasional Pendidikan, yang pembentukannya baru saja dilakukan. Bagaimana mungkin Pemerintah menguji murid suatu materi yang mana gurunya saja belum memahaminya. Kedua, Unas diskrimiatif terhadap sekolah pinggiran. Sekolah di daerah konflik, bencana dan miskin tidak memiliki kualitas yang

sama dengan sekolah yang normal. Tentunya standar yang digunakan tidak dapat disamakan. Ketiga, Unas cenderung memberatkan Orang Tua. Orang tua mengeluarkan biaya tak langsung berupa les privat, try-out, pengayaan materi , buku dan foto copy (Tatak : 2005).
Unas belum layak sebagai penentu kelulusan siswa. Mengapa demikian? Lalu kapan Unas layak dijadikan penentu kelulusan murid ? Jawabannya adalah masyarakat kita masih sangat ketakutan dengan label ’tidak lulus’ melekat pada anaknya. Sekolah juga meyakini bahwa ketidaklulusan siswanya berdampak pada terpuruknya citra sekolah mereka di hadapan calon wali murid. Ini diperparah dengan penilaian masyarakat yang tidak fair terhadap sekolah yang tidak mampu melulusan muridnya pada Unas. Kebijakan Unas belum komprehensif sampai pada kondisi psiko-sosial masyarakat kita.


2. Unas dari perspektif moral – ideologis
Terjadi penyimpangan orientasi pendidikan. Fenomena yang muncul adalah siswa akan merasa sedih dan menderita jika ia gagal dalam Unas, dan tidak merasa sedih jika ia gagal dalam menguasai ilmu pengetahuan. Perasaan yang berlebihan ini sebenarnya merupakan dampak dari dari ditetapkannya hasil nilai Unas sebagai tolok ukur utama hasil belar siswa selama ia menempuh satu jenjang pendidikan dan menafikan nilai rapot oleh guru. Apalagi dengan semakin dinaikkannya standar kelulusan dari 5,25 menjadi 5,5 akan semakin menghantui peserta UN (Republika : 28 april 2009).
Menghalalkan segala cara. Dalam mendapatkan kelulusan Unas, siswa dengan dukungan dari orang tua menempuh segala cara. Dengan membuat contekan (Memo : 21 April 2009), bocoran baik melalui sms (Surya : 31 Mei 2009, ) jual beli jawaban (Jawa post : 12 Mei 2009) sampai jasa joki (Jawapos:2009) Langkah menghalalkan segala cara ini juga ditempuh beberapa oknum oleh guru, kepala sekolah dan aparat diknas. Bila cara – cara yang merusak sendi – sendi kejujuran sudah dilakukan secara berjamaah maka akan memunculkan karakter atau perilaku curang dalam bentuk lain, seperti korupsi, manipulasi, ngapusi, mencuri, munafik dan semacamnya (Jawapos : 17 Mei 2009, 33). Walapun praktik kecurangan dalam ujian sudah muncul sejak dulu, namun sejak penerapan Unas justru mengalami peningkatan kasus tersebut.

3. Unas dalam prespektif didaktik - metodik
Terjadi porsi perhatian mata pelajaran yang tidak seimbang. Keluhan dari guru - guru non mata pelajaran UAN adalah sering merasakan bahwa murid – murid di akhir satuan pendidikan -- kelas 3 di SMP/ SMA dan kelas 6 di SD – tidak memberikan perhatian yang semestinya pada mata pelajaran non-Unas. Mereka meyakini bahwa yang menentukan lulus tidaknya adalah mata pelajaran yang di-Unas-kan saja, yang lain kurang berpengaruh. Belajar yang diorientasikan pada mendapatkan nilai biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drill. Dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial dan spiritual (Amun : 2009, 12). Guru dan murid menghabiskan waktu untuk membahas contoh – contoh soal, tidak menemukan ilmu melalui proses inquiry ( Nur Hadi : 2002, 12 – 13).

4. Unas dalam Perspektif institusional
Munculnya ketidakpercayaan publik pada institusi sekolah dan guru. Ini yang dikeluhkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo kepada Wakil Presiden, dikarenakan intervensi pihak luar dalam pelaksanaan Unas (Republika : 15 Mei 2009, 3) . Sebenarnya tujuan pemerintah dengan menerapkan sistem silang dalam pengawasan UNAS dengan melibatkan aparat kepolisian adalah demi obyektivitas dan tidak terjadi konspirasi antara guru dan anak Ini sangat logis, karena dengan pengawasan sistem silang, maka pengawas menjadi asing dihadapan siswa demikian sebaliknya, sehingga penutup peluang kerja sama. Namun ternyata yang terjadi adalah sikap tahu – sama tahu antara guru – guru pengawas. Sehingga mereka memberikan kelonggaran. Kenyataan ini justru menyebabkan sebagian Perguruan Tinggi tidak mempercayai hasil Unas sebagai tolok ukur kompetensi siswa (Jawapos : 12 Mei 2009). Hubungan antara satuan lembaga suatu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan berikutnya tidak malah membaik. Keterlibatan aparat kepolisian dalam aktifitas pendidikan semakin mengikis kemandirian sekolah sebagai institusi yang dipercaya sebagai lembaga pendidik.

5. Unas perspektif evaluasi pendidikan
Jika melihat hasil survey United National Development Program (UNDP), bahwa dari 174 negara yang disurvey, Indonesia berada pada posisi yang sangat memperihatinkan dibandingkan dengan negara tetangga Indonesia . Indeks kualitas SDM atau Human Development Index (HDI) Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang drastis,. Pada tahun 2000 HDI berada pada peringkat 109 lebih rendah dari pada Vietnam. Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan kita kurang optimal (UNDP : 2000). Dalam logika pemerintah, ujian nasional adalah salah satu cara yang nesti ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan memang telah dicanangkan sebagai target bagi pemeritah dan tercantum dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Peningkatan mutu pendidikan dan standarisasi pendidikan memang tidaklah mudah. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah justru pemikiran segar guna peningkatan mutu dengan strategi bertahap, bukan malah dengan penyeragaman.
Fungsi evaluasi menurut Prof. Drs. Anas Sujono secara umum adalah : 1) Mengukur Kemajuan. 2) Menunjang Penyusunan rencana 3) Memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. Sedangkan Secara khusus evaluasi dapat dilihat dari beberapa segi : 1) segi psikologis. 2) segi didaktik. 3) segi admistratif. Salah satu fungsi didaktik evaluasi bagi pendidik adalah fungsi diagnostik, yaitu untuk memeriksa pada bagian – bagian mana para peserta didik umumnya mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran (Anas Sujono : 1998, 12). Berikutnya akan diketahui sebab - musabab kesulitan tersebut sehingga mudah untuk mencari cara mengatasinya (Suharsimi : 1999, 10). Disamping fungsi diagnostik, evaluasi juga memiliki fungsi selektif, yaitu untuk menentukan apakah peserta didik dapat dinyatakan lulus atau kah tidak lulus, dapat dinyatakan naik atau tidak naik kelas (Anas Sujono, 1998, 15). Fungsi ini lebih pada evaluasi sebagai justifikasi.
Semangat atau lebih tepat ambisi pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga dapat bersaing dengan negara lain harus melalui pertimbangan yang matang, sehingga tidak menambah masalah baru. Unas memang perlu dilakukan, namun bukan sebagai justifikasi belaka yang hanya untuk menentukan bahwa si anu lulus dan si anu gagal. Hanya menetapkan bahwa sekolah ini bagus dan sekolah yang itu buruk. Apalagi dengan menetapkan target – target prosentase kelulusan pada kepala sekolah dan aparat diknas di daerah. Bahwa jika prosentase kelulusan di suatu sekolah atau daerah tidak sesuai dengan target maka akan menjadi penilaian tersendiri bagi kinerja aparat tersebut. Fenomena ini menciptakan ketidaksehatan suasana kerja guru, kepala sekolah dan aparat diknas. Aktivitas akademis menjadi sangat bernuansa politis.

6. Unas memiliki kevalidan yang rendah
Tes yang baik adalah tes yang memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Validitas adalah kesahihan. Kevalidan terdiri atas validitas rasional dan empirik. Validitas rasional terdiri atas validitas isi (kurikuler) dan validitas konstruk. Validitas isi adalah sejauh mana materi ujian sesuai dengan kompetensi dasar yang hendak diukur (Mimin Hariyati : 2007, 83). Dengan kata lain apabila soal yang diujikan adalah representasi materi yang diteskan (Anas Sujono : 1998, 164), Sedangkan validitas konstruk adalah jika tes tersebut telah mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik (anas Sujono : 1998, 166).
Jika kita bandingkan antara Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pada tiap – tiap satuan pendidikan dengan jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam Unas, maka apakah layak jika hasil Unas merepresentasikan kualitas siswa secara keseluruhan ? Dalam SKL, seorang siswa dituntut untuk mulai dari menjalankan agama, mematuhi aturan, menunujukkan kebiasaan hidup yang bersih, sehat, berkomunikasi secara santun sampai kegiatan seni dan budaya (Permen Diknas : 2006). Sedangkan Unas hanya menyangkut beberapa kompetensi saja.

MENEMPATKAN UNAS SEBAGAI FUNGSI DIAGNOSTIK
Pemerintah adalah pihak yang paling yang bertanggungjawab atas pendidikan warga negara. Untuk melakukan perbaikan – perbaikan pendidikan, pemerintah membutuhkan data yang valid dan up-to date. Termasuk didalamnya adalah data tentang bagaimana kualitas warga belajar yang sesungguhnya. Ibarat seorang dokter, ia harus memahami dengan seksama gejala apa yang nampak pada pasien, keluhan yang dirasakan, dan mendeteksi sumber penyakit. Untuk itu dokter akan melakukan tes darah, urine, detak jantung, dengan stetoskope, sinar rought, CT-Scan dan sebagainya sehingga diketahui apa sebenarnya penyakit pesien, dan segera menentukan langkah yang perlu dilakukan segera berikut obat atau terapinya. Dokter tidak hanya menentukan (menjustifikasi) anda berpenyakit ini dan itu, atau umur anda tinggal sekian tahun atau sekian bulan. Tetapi yang lebih penting adalah apa tindakan dokter setelah mengetahui penyakit pasien, sehingga pasien yang datang berobat secepat mungkin segera sembuh. Tidak terlalu penting bagi pasien untuk mengetahui jenis penyakit apa yang dia derita atau berapa sisa umurnya. Yang sangat harus diperhatikan oleh pasien adalah apa yang harus dilakukan, obat apa yang harus diminum, dan pantangan apa yang harus dijauhi. Ia harus rajin melakukan kontrol dan jujur dalam memberikan keterangan kondisinya. Pemerintah yang memiliki kewenangan dan anggaran memiliki otoritas dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Hendaknya posisi pemerintah seperti posisi dokter. Ia harus melakukan deteksi sejak dini seperti apakah kelemahan – kelemahan yang terjadi di lembaga – lembaga pendidikan kita. Apa yang sesungguhnya kendala yang dihadapi oleh guru, kepala sekolah, murid dan orang tua murid di lapangan. Sejak murid – murid masih di awal – awal pembelajaran, evaluasi harus sudah dilakukan oleh pemerintah. Sehingga sejak awal pemerintah sudah dapat memastikan penyebab sesungguhnya kendala belajar di suatu sekolah. Apakah karena guru yang kurang berkualitas, manajemen sekolah yang buruk, ataukah fasilitas yang kurang memadai, laboratorium yang kurang layak, buku yang kurang, kesadaran masyarakat yang rendah atau hal – hal lain. Setelah mengetahui penyebab sesungguhnya, pemerintah akan melakukan langkah – langkahnya berupa memberikan pelatihan pada guru dan kepala sekolah, bantuan fasilitas, pemagangan, studi lanjut, bantuan buku, kamus dan lain sebagainya.
Demikian seterusnya, secara berkala pemerintah akan memantau perkembangan sekolah tersebut berikut outputnya. Sampai benar – benar sekolah itu ”sembuh” dari ”penyakit” yang dideritanya. Hasilnya, di akhir periode pembelajaran semua lulusan akan memiliki kualitas yang memuaskan. Bukankah ini yang dikehendaki pemerintah ? Kualitas warga negara semakin baik ?
Pemerintah tidak perlu terlibat dalam menentukan apakah seorang siswa lulus ataukah tidak. Biarlah guru dan pihak sekolah yang menentukan kelulusan siswa. Tugas terpenting pemerintah adalah mengupayakan agar sekolah semakin maju dan anak didik semakin berkualitas.

KESIMPULAN
Unas yang diharapkan pemerintah dapat meningkatkan kompetensi siswa, malah justru mengundang reaksi yang sangat tidak diharapkan dari berbagai pihak. Terlebih Unas sebagai penentu kelulusan siswa. Unas perlu dikaji secara sistemik dan komprehensif dari berbagai aspek. Mulai dari aspek psikologis, didaktik-metodik, sosial, teori evaluasi dan mempertimbangkan kesiapan elemen guru dan institusi sekolah.
Unas tetap perlu ada, namun peran Unas sebaiknya lebih pada fungsi diagnostik. Yaitu data nilai hasil Unas digunakan pemerintah sebagai acuan dalam menentukan kebijakan selanjutnya. Manakah sekolah yang perlu diperbaiki SDM nya dan mana yang perlu di perbaiki sarananya. Dari pada pemaksaan sepihak oleh pemerintah, yang malah menghasilkan nilai Unas yang tidak jujur, tidak apa adanya. Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dari data nilai yang palsu ? Betapa bahaya jika data yang tidak valid digunakan dalam menetapkan kebijakan. Kebijakan yang tidak relevan dengan kebutuhan hanya akan menghabiskan biaya.

0 komentar:

Posting Komentar